Diantara ayat yang sering dijadikan dasar bahwa kita wajib
bersilaturahmi adalah surat Annisa ayat 1 yang didalamnya terdapat
kalimat yang berbunyi, Wataqullâh alladzî tasã`alûna bihî wal arhâm…
“Dan bertakwalah kepada Allâh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.”
Arhâm
bentuk jama dari kata rahim yang berarti kandungan. Imam Alqosimi di
dalam tafsirnya memberikan pengertian dengan makna “wattaqul arhâm”
(nitip rahim, nitip kandungan).
Sepintas terasa agak aneh, Allâh
menitipkan kandungan, tapi menurut ahli ilmu bayan/balaghoh kalimat
seperti ini termasuk kalimat Majaz Mursal, min ithlaqil mahâl lil
iradati hâl, disebut tempat yang dimaksud adalah yang menempatinya.
Wattaqul
arhâm. Nitip kandungan jelas maknanya adalah yang keluar dari kandungan
yaitu anak dan keturunan. Jadi kalau kita tarik pemahaman dari kalimat
yang diambil dari surat Annisa ayat 1 tadi. Allâh berpesan bertakwalah
kamu kepada Allâh wahai para orang tua dan didik (jaga) anak keturunan
kamu supaya mereka menjadi manusia-manusia yang bertakwa juga.
Di
lingkungan kita banyak yang memahami makna silaturahmi itu sebatas
mengadakan pertemuan keluarga atau pertemuan warga. Lalu saling
mengenalkan hubungan kekerabatan; ini kakek, paman, bibi, keponakan,
dstnya. Memang itu pun mempunyai nilai positif, tapi yang disebut
silaturahmi tidak sebatas itu, bukan hanya memperkuat hubungan
kekerabatan semata, yang lebih esensial (penting dan mendasar) adalah
bagaimana memperkuat hubungan keimanan, ketakwaan pada lingkungan
keluarga masing-masing.
Dalam tafsir Ibnu Katsier tercatat
sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Jarir, Rasûlullâh Saw., bersabda,
“Nanti di hari kiamat diantara hamba-hamba Allâh ada sekelompok orang
yang mendapat tempat istimewa di surga, mereka itu bukan para Nabi juga
bukan Syuhada, malah para Nabi dan Syuhada tertarik dengan kedudukan
mereka di sisi Allâh pada hari kiamat. Mendengar pernyataan seperti para
sahabat semangat untuk bertanya, ‘Yaa Rasûlullâh, manusia macam apakah
yang akan mendapat tempat istimewa di surga?’ Nabi tidak menyebut nama
juga kelompok, tapi menyebutkan sifat, mereka yang akan mendapatkan
tempat istimewa di surga adalah yang ketika hidupnya di dunia saling
mencintai, menyayangi dengan dasar karena Ruh Allâh (keimanan, keislaman
dan ketakwaan) bukan karena ikatan harta atau keturunan.”
Wajar
jika seorang kakek sayang kepada cucunya karena ada hubungan famili,
pantas jika mertua sayang kepada menantu karena terikat oleh anak,
normal jika seorang pedagang sayang kepada pelanggan karena ada ikatan
simbiosa mutualistis (hidup saling menguntungkan yang terkait dengan
harta). Tapi ternyata yang membawa akibat yang positif nanti di akhirat
-sampai di tempatkan di kelas istimewa di surga-, bukan ikatan
kekeluargaaan atau bisnis, tapi lebih karena ikatan rasa keimanan,
keislaman, dan ketakwaan.
Oleh sebab itu maka yang di maksud
dengan silaturahmi jelas bukan hanya sebatas mengumpulkan keluarga dan
saling mengenalkan hubungan kekerabatan tapi bagaimana kita memperkokoh
kualitas keimanan dan ketakwaan dalam keluarga kita.
Bukankah
putra Nabi Nûh yang bernama Kan’an oleh Allâh ditenggelamkan di lautan
banjir besar. Ketika Nabi Nûh meminta pertolongan kepada Allâh untuk
menyelamatkan anaknya, Allâh menjawab, “Wahai Nûh, dia (Kan’an) bukan
keluargamu!.” Ahli tafsier memaknai karena dia (Kan’an) tidak beramal
sholeh seperti bapaknya (Nûh).
Dari cerita Nûh dan anaknya kita
bisa belajar bahwa makna silaturahmi itu tidak hanya sebatas bersalaman
mengadakan pertemuan tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita
memperkokoh kualitas keimanan, keislaman, dan ketakwaan dalam lingkungan
keluarga kita sehingga kita bersama-sama menjadi manusia-manusia yang
bertakwa.
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka
mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan
mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.
Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Qs. Ath-Thuur
[52]:21)
Mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Allâh untuk
menjaga dan memelihara silaturahmi khususnya dilingkungan keluarga kita
masing-masing.
Khutbah kedua
Jika akhir-akhir ini ada gejala
munculnya kembali orang mengaku Nabi dan ada pula aliran yang
mengingkari sunnah Nabi. Sebenarnya gejala ini sudah diprediksi oleh
Nabi sebelumnya, seperti sabdanya, “Tidak akan terjadi kiamat sehingga
bermunculan Dajal-Dajal yang semuanya mengaku dirinya sebagai
Rasûlullâh.” Sedangkan Allâh dalam firman-Nya dengan tegas menyatakan
posisi Nabi Muhammad sebagai, “Rasûlullâh dan penutup para Nabi.” (Qs.
Al Ahzab [33]:40)
Dalam Shohih Bukhari Nabi bersabda, “Bani
Isrâil adalah sebuah bangsa yang secara terus menerus dibimbing oleh
para Nabi, setiap Nabi wafat, Allâh menurunkan Nabi pengganti. Dan
sesungguhnya tidak akan ada lagi Nabi sesudahku, yang ada adalah para
khalifah dan jumlahnya banyak.”
Jadi baik ayat Alqurân atau
hadits Nabi sudah menegaskan bahwa Muhammad Saw., adalah Nabi dan Rasûl
terakhir. Jika kemudian ada orang mengaku Nabi, kita tidak perlu kaget
karena itu sudah muncul sejak zaman Nabi sendiri; tokoh yang bernama
Musailamah Al-Kadzab, termasuk yang kemudian muncul tokoh Ahmadiyah,
Mirza Ghulam Ahmad.
Rasûlullâh Saw., bersabda, “Sesungguhnya
Allâh tidak mengutus seorang Nabi pun kecuali pasti mengingatkan kepada
umatnya bahwa akan muncul Dajal dan aku adalah Nabi terakhir dan kalian
adalah umat terakhir. Dan Dajal akan muncul diantara kalian. Dajal itu
akan nampak dan berkata, ‘Aku adalah Nabi’ padahal tidak ada lagi Nabi
sesudah aku.”
Dengan dalih apapaun, argument bagaimanapun,
sebanyak apapun pengikutnya jika mengaku Nabi sesudah Nabi Muhammad
itulah yang disebut Dajal. Artinya tidak boleh kita ikuti, kita imani,
apalagi jika dia menganjurkan untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban
sebagai seorang muslim.
Mudah-mudahan kita tetap ada dalam
hidayah Allâh, tidak terkecoh dan terbujuk oleh kelompok-kelompok yang
akan menyesatkan kita, membawa kita ke arah yang jauh dari ridlo Allâh
Swt.[*]
Ringkasan Khutbah Jum'at Masjid Persatuan Islam Pajagalan Bandung
Jum'at Pertama, 02 November 2007
Khatib: KH. Drs. Shiddiq Amien, MBA
Sumber : http://www.pajagalan.com/2007/11/makna-silaturahmi.html
Mantap ,,,
BalasHapus